Bantul, aknyogya.ac.id – Membagikan pengetahuan tidaklah mengurangi penget...
Bantul, aknyogya.ac.id – Lakon “Lakuning Pangesthi” buah pemikiran Direktur Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta Dr. Supadma, M.Hum. yang menggabungkan tiga prodi Akademi komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta bersama dengan para dosen tersaji dalam sebuah pementasan tari dan pertunjukan wayang, Kamis malam, 28/11/24.
Pementasan ini merupakan pertunjukan yang spesial karena kolaborasi antara dosen dan mahasiswa dan merupakan persembahan karya dari Dr. Supadma, M.Hum. Direktur Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta khusus untuk Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta tercinta, menjelang empat tahun berakhirnya masa baktinya di Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta. Berlangsung di Pendopo Bale Widya Budaya Kompleks Kampus Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta.
Wayang Lakuning Pangesthi dimulai dari jejer kayangan dengan topik pembicaraan bahwa di dunia mayapada manusia sekarang hidup tidak tentram banyak musibah. Di samping banyak pertikaian yang mengakibatkan suasana kemasyarakatnya tidak tenang, terbawa dari kehidupan masyarakat ini sampai mempengaruhi kehidupan di kayangan. Karena suhu di kayangan semakin panas, hal ini dibicarakan oleh batara guru yang bertanya kepada semar sebagai perwakilan rakyat jelata. Akhirnya Wisnu diutus untuk turun ke dunia, mencari penyebab.
Sementara itu di tempat lain sumber malapetaka itu diwakili oleh figur durga yang mendapatkan dukungan dari tiga raja untuk mengambil alih ketentraman yang ada di dunia ini. Melalui tiga raja sebrang yang beralih rupa dewa penguasa jagad, maka tiga raja didukung durga mencari bumi suci sumber ketentraman untuk bisa dikuasai, inilah yang mengakibatkan goro-goro. Goro-goro itu sendiri diwujudkan dalam adegan tiga putra semar yang mengupas tentang bagaimana baiknya kedamaian diciptakan, oleh sementara berhibur diri sejenak dengan satu lagu kudangan itu sebagai harapan kehidupan ini akan lebih baik.
Dilanjutkan dengan jejer amarta dengan para pandawa yang juga terpengaruh oleh kehidupan alam yang tidak harmonis ternyata ini ditangkap oleh para raja yang sudah beralih rupa menjadi dewa untuk diculik supaya pandawa tidak kuat sebagai tauladan keutamaan. Hal ini mengakibatkan semar bertindak untuk bisa membasmi durga dan kawan-kawannya kembali ke tempatnya. Di sinilah semar sebagai simbol wakil dari rakyat diberikan satu kewenangan mbabar pepadang kepada para pandawa.
Sumber dari lakon ini sebenarnya adalah semar yang mbabar kawruh ketentraman, jati diri manusia dikembalikan kepada fitroh sebagai umat manusia yang bertugas di dunia mengemban amanah menjalankan kehidupan.
Karya ini disutradarai langsung oleh Dr. Supadma, M.Hum., Hendy Hardiawan, M.Sn. sebagai Penata Tari, Agustinus Welly Hendratmoko, M.Sn. sebagai Penata Konser Karawitan, Drs. Kartiman, M.Sn. sebagai Penata Iringan Lakuning Pangesthi, Bayu Purnama, M.Sn. sebagai Penata Iringan Pakeliran Lakuning Pangesthi dan tentunya para mahasiswa sebagai pengrawit. Para penari adalah Ali Nursotya Nugraha, M.Sn., Otok Fitrianto, M.Pd., Hendy Hardiawan, M.Sn., Wisnu Dermawan, M.Sn., dan Y. Adityanto Aji, M.A.
Rochmad AKN
0 Komentar