Bantul, aknyogya.ac.id – Suhardjono, S.Sn., M.Sn. pria kelahiran Bantul 29...

Bangunjiwo - Posturnya yang tinggi besar, murah senyum, halus dalam berbicara dan ramah pembawaannya. Sagio, cukup singkat namanya. Namun, ditilik dari karya yang sudah dihasilkan, seakan tak bisa dihitung jumlahnya. Pria yang dilahirkan 71 tahun silam itu menceritakan banyak hal tentang seni tatah sungging wayang kulit gagrak Ngayogyokarta kepada tim media kampus AKN Seni Budaya Yogyakarta, saat bertandang ke Griya Ukir sanggar miliknya yang berada di Gendeng, Bangunjiwo, Kasihan, Kabupaten Bantul. Selasa, 2/8/22.
Lahir dan besar di Gendeng, Bangunjiwo, Sagio sejak masa kanak-kanak sudah menyukai dunia wayang kulit. Diawali dari sering menonton pertunjukan wayang kulit dimana tokoh anoman menjadi idolanya. Anoman merupakan kera putih dalam dunia pewayangan merupakan putra Bathara Bayu dan Dewi Anjani yang di gambarkan piawai dalam olah kanuragan.
Awal Mengenal Tatah Sungging.
Tahun 1962 merupakan awal mula belajar mengenal tatah sungging wayang kulit gaya Yogyakarta. Kepada sang ayah Alm. Djojoperwito, beliau pertama kali belajar tatah sungging. Kemudian pada tahun 1963 hingga 1966 melanjutkan pembelajarannya kepada Alm. Pudjowinata salah satu cikal bakal penatah wayang kulit di kampung Gendeng.
Selanjutnya pada tahun 1967 beliau memperdalam pembelajarannya menatah wayang kulit khas Kraton Yogyakarta pada MB. Prayitna Wiguna salah seorang empu tatah wayang kulit yang merupakan seorang abdi dalem Kraton Ngayogkarto Hadiningrat. Disaat semangatnya yang masih tinggi dan menggebu-gebu untuk memperdalam ilmu tatah sungging, nasibnya berkata lain, gurunya yang merupakan empu penatah wayang kulit meninggal dunia.
Mengabdi di Kraton Yogyakarta.
Sepeninggal mbah kundu (MB. Prayitna Wiguna-red), Sagio muda merasa sedih. Kegusaran menyelimutinya. Di dalam hatinya masih ada keinginan yang kuat dan rasa semangat untuk belajar tatah wayang. Dari situlah kemudian pada tahun 1978 Sagio bertekad mencari cara agar bisa masuk dan magang mengabdi kepada kraton Ngayogyakarta dengan satu keinginan yang sangat kuat, yakni mempelajari seluk beluk wayang kulit, corak wayang dan keaslian wayang kulit kraton Yogyakarta. Atas usahanya pada akhimya Sagio menyelesaikan masa magangnya dan diangkat menjadi abdi dalem kraton Ngayogakarta dengan gelar Mas Wedono Perwita Wiguna dengan tugas khusus di bidang pewayangan yang antara lain merenovasi wayang, perawatan wayang dan pembuatan wayang kulit. Hingga kini mbah Sagio, panggilan akrabnya, masih setia mengabdi pada Kraton Ngayogyakarta.
Menatah wayang kulit membutuhkan kesabaran, ketelatenan serta keuletan. Menurutnya dalam hal menatah wayang yang paling sulit yakni, menatah Bathara Guru dan Gunungan. Karena memang memerlukan konsentrasi penuh serta ketekunan yang tinggi. Maka untuk mencapainya itu hal pokok yang harus dipunyai seorang penatah adalah menyukai dulu. Dari rasa suka (tresna-red) itulah akan muncul motivasi dari dalam diri untuk bisa dan mahir menatah.
Sagio apabila sedang membuat wayang kulit, seperti lupa akan segalanya. Seakan masuk dalam sebuah ruang dimensi dimana proses menatah dan menyungging dapat menghilangkan rasa lapar dan hausnya juga kantuknya. Perasaan bahagia yang hadir menjadi energi yang menggerakan jari-jarinya membentuk wayang yang diangankannya. Usianya yang kini tak lagi muda tidak memudarkan ketajaman penglihatannya. Inilah yang menjadi kelebihan Sagio, laki-laki berputra tiga ini, dalam menatah dan menyungging tidak membutuhkan bantuan kacamata. Saking lihainya dalam menatah wayang, seakan-akan di setiap jarinya terpasang mata-mata yang tajam.
Rochmad-AKN
0 Komentar